Thursday, June 6, 2013

Meretas Dikotomi Ilmu Agama dengan Ilmu Umum

INFO UMAT - Oleh Muhammad Cholil Nafis, Lc., Ph D

Mengurai tentang dikotomi “ilmu-ilmu agama” (al-‘ulum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (al ‘ulum al tajribiyah atau general sciences). A1-Ghazali (W. 1111 M.) dalam kitabnya Ihya' al-Ulum Ad-Din menyebut kedua jenis ilmu tersebut sebagai ilmu syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Ilmu syar’iyyah sebagai fardu 'ain bagi setiap muslim untuk menuntutnya dan ihnu ghair syar’iyyah sebagai ilmu fardu kifayah. Sementara Ibn Khaldun (W. 1406 M.) menyebut keduanya sebagai al-ulum al-naqliyah dan al-ulum al-aqliyah.

Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada mulanya kondisi sosio-relegius maupun sosio-

intelektual, dikuasai oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah. 

Bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut, harus dibatalkan demi supermasi gereja. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan ilmiahnya.

Ajaran-ajaran agama (dalam hal ini Kristen yang dilembagakan oleh gereja) secara konseptual dan aplikatif dipandang sebagai hambatan yang serius bagi kreatifitas ilmuan dan tentu juga bagi kemajuan peradaban. 

Lahirnya sekulerisasi yang kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan dialektikanya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis, sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekulerisasi sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak gereja. Selanjutnya sekulerisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.

Dalam perkembangan selanjutnya, Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya Epistimologi Pendidikan Islam mengutip dari Ismail Raji Al-Faruqi, bahwa Barat memisahkan kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan metodologi. Menurut tradisi Barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu apa pun termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektivitas. Tidak boleh terpengaruh oleh tradisi, idiologi, agama, maupun golongan, karena ilmu harus steril dari pengaruh faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor kemanusiaan, lebih sering menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga lebih mengesampingkan obyektivitas. Dalam hal ini agaknya memang sulit untuk dikompromikan.

Dalam dunia Islam, menurut Azyumardi Azra, dikotomi keilmuan bermula dari historical accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha. Sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).

Dalam konteks sejarah Indonesia, dikotomi ilmu ini dimulai sejak penjajahan Belanda yang berkepentingan untuk menjajah Indonesia lebih lama dan tanpa ada perlawanan dari bangsa pribumi. Mereka kemudian menebarkan kesan adanya pemisahan antara ilmu agama dan umum sehingga menjadi paradigma umum di tengah masyarakat Indonesia: ilmu agama adalah urusan akhirat sedang ilmu umum urusan dunia. 

Sampai saat ini pun ‘iklim’ pemisahan itu tetap terasa, dan bahkan menjadi haluan pendidikan di negara kita. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Kemenag (Kementrian Agama), sedang ilmu-ilmu umum berada di bawah Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Dikotomi tidak hanya pada ke mana dua alur pendidikan ini berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan, dan anggaran dana dari APBN. Pendidikan umum ternyata lebih subur dibanding pendidikan agama.


Sebenarnya, BELAJAR, adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim, sejak dalam buaian sang ibu sampai masuk ke liang lahat. Artinya, tuntutan belajar diberlakukan sejak manusia menghirup udara kehidupan sampai menghembuskan nafas terakhir. Nah, dalam perintah itu tidak dikenal dikotomi ilmu agama dan non agama bahkan hal itu tidak juga dikenal dalam dunia peradaban Islam awal. 

Dalam al-Qur’an kita temukan informasi yang komplit dan padu, mulai dari tuntunan syariah, akhlak, sejarah peradaban, hingga ilmu alam dan sains. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11). Di samping itu, Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengamati lingkungan dan isi alam (tadabbur al-‘alam) karena di sana ada tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ali Imran (3):190-191. Sebab, hanya melalui pengamatan dan pencernaan yang mendalam terhadap apa yang diciptakannya, manusia dapat menemukan pemahaman sekaligus pencerahan diri mengenai rahasia kekuasaan sekaligus keberadaan Allah SWT.

Dalam Sunah Nabi saw, kita tidak hanya disuguhi ilmu-ilmu syariat tetapi juga informasi yang berkaitan dengan sains seperti fisika, matematika, seni, embriologi dan astronomi. Tahapan-tahapan dan masa pertumbuhan embrio janin dalam kandungan mulai pertemuan sperma, menjadi ‘alaqah (gumpalan darah), kemudian mudhghah (daging) dan peniupan ruh serta penulisan takdir kehidupan (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Pemahaman seperti itulah yang dimiliki oleh para ulama terdahulu, di masa-masa kejayaan Islam. Mereka tidak pernah mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ibnu Rusyd, misalnya, selain dikenal sebagai pakar fikih, juga seorang pakar kedokteran. Ibn Nafis adalah dokter ahli mata, sekaligus pakar fikih mazhab Syafi’i. Ibnu Khaldun, sosiolog Islam ternama, pakar sejarah, juga seorang ahli syariah. Al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang ditekuninya, mulai dari ilmu Fiqh, Kalam, Falsafah, hingga Tasawuf. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang Kedokteran, Filsafat, Psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama. 

Artinya, ulama dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu sehingga mereka banyak menguasai ilmu-ilmu selain ilmu agama. Sebab, bagi mereka semua jenis ilmu berada dalam satu bangunan pemikiran yang bersumber dari Allah SWT. Semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu mengenal dan menyembah Allah SWT sesuai dengan kodrat diciptakannya manusia.

Namun ada beberapa cabang ilmu yang sifatnya fardu ain dan ada yang fardu kifayah. Ilmu yang sifatnya fardu ain, seperti ilmu Tauhid, Fikih dan sebagainya, mutlak harus dipelajari oleh setiap muslim sebelum ia belajar ilmu-ilmu yang lain. Sedangkan ilmu-ilmu lainnya bersifat fardu kifayah, tidak semua umat Islam harus menguasainya karena ilmu ini hanyalah turunan dari ilmu-ilmu fardu ‘ain. Meskipun demikian, pembagian ini tidak bisa dipahami secara dikotomis sehingga keduanya dapat dibenturkan. Ia hanya pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan pada tingkat taklif, prioritas, kebutuhan dan kebenarannya. 

Dengan cara demikian, seseorang yang belajar tentang alam semesta, matetika, fisika, seni, filsafat, bahasa, dan lainnya akan menemukan keagungan Allah SWT, tidak justru menjadi sekuler dan liberal, apalagi ateis. Konsep seperti inilah yang ditawarkan oleh az-Zaranji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim yang harus mendahulukan ilmul-hâl, ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan seseorang.

Hal tersebut adalah bukti nyata bahwa Islam sangat mengapresiasi segala ilmu pengetahuan, dan tidak pernah ada pemisahan ilmu, karena semuanya adalah padu yang datangnya dari Allah. Jika kemudian ada pemisahan ilmu maka hal itu lebih karena konsentrasi umat Islam yang tergiring ke dalam pembelajaran syariah saja sehingga ilmu-ilmu di luar syariah—kalau tidak kita katakan juga bagian dari syariah—justru dikembangkan oleh orang-orang di luar Islam. 

Sentimen ilmu pun terjadi, umat Islam enggan mempelajari seperti ilmu embriologi, seni dan lain sebagainya karena dianggapnya ilmu di luar Islam. Bahkan, umat Islam sendiri sepertinya tabu mempelajarinya karena dianggapnya bukan ilmu akhirat. Padahal, ilmu-ilmu tersebut juga merupakan bagian integral dari keilmuan Islam yang juga penting dipelajari, meskipun secara nyata tidak berkaitan dengan hukum-hukum syariah semisal shalat yang harus dijalankan setiap waktu.

Saat ini yang kita perlukan adalah reformasi pendidikan untuk menyingkirkan dikotomi ilmu dan menyeimbangkan ilmu agama dan umum. Jaminannya, agar generasi penerus memiliki pondasi keimanan yang kuat serta mempunyai kemampuan akademis yang memadai sehingga mampu bersaing dalam dunia global.  Pun kita akan temukan keterpaduan antara dua keinginan yang disematkan dalam doa kita setiap hari, “Rabbanâ atinâ fid-dun’yâ hasanah wa fil-âkhirati hasanah”.

Bagi dunia Islam dikotomi ilmu menimbulkan masalah. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam ke hidupan pribadi dan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat dikotomi ilmu, maka ilmu fisikan, matematika, seni, humaniora, ilmu pengetahuan dan teknologi  menjadi bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dan tanpa nilai kemanusiaan. 

Kelompok yang paling dirugikan dari propaganda dikotomi ilmu adalah kelompok-kelompok yang memiliki ikatan moral dengan ajaran agama, terutama masyarakat Islam. Ketika mengikuti arus perkembangan sains modern dari Barat, mereka secara sadar maupun “terpaksa” harus menggantikan nilai-nilai religius dengan nilai-nilai sekular yang kontras. Selama ini agama Islam dipedomani sebagai juklak dalam menempuh kehidupan sehari-hari., termasuk dalam bangunan ilmu pengetahuan dan unsur-unsur lain yang terkait. Namun kenyataannya, masyarakat Muslim seolah dipaksa untuk melaksanakan sekularisme  yang semakin menjauhi nilai-nilai Islam.

Upaya Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular. Yaitu menggeser dan menggantinya dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam, manakala mentelaah dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan

Membangun format keilmuan (body knowledge) yang bersifat inegratif yang tidak membedakan ilmu umum dan ilmu agama dapat dilakukan dengan cara menempatkan al-Quran dan al-Hadist bukan sebagai petunjuk ritual dan spiritual belaka, melainkan memuat aspek-aspek kehidupan yang bersifat global.

Struktur keilmuan dikotomik yang seharusnya di rubah adalah tidak memisahkan cabang ilmu agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.  Sturktur bangunan keilmuan yang integrative adalah antara kajian yang bersumber dari ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran-hadist) dan ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, Eksperimen dan penalaran logis). Dalam teori ilmu (theory of knowledge), suatu pembagian yang amat populer untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi bidang bahasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 

Integrasi keilmuan dalam kontek Perguruan Tinggi Islam dapat dilakuk dengan cara membuka prodi atau jurusan keilmuan yang mengintegrasi ilmu agama dan ilmu umum. Untuk mencapai tingkat integrasi epistemologis ilmu agama dan ilmu umum menurut Kartanegara (2005) integrasi harus dilakukan pada level : integrasi ontologis, integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis. Saat ini sedang dalam proses Islamisasi sekaligus integrasi ilmu pengetahuan, seperti politik Islam, kedokteraan Islam, Seni Islam, psikologi Islam, dan ekonomi Islam. Di Indonesia yang sedangan marak adalah ekonomi Islam yang dikenal dengan sebutan ekonomi syari’ah.

Dalam rangka Ikut mendorong islamisasi ilmu yang bebasis nilai Islam dan instegrasi ilmu, Maka Institut Pembina Rohani Islam Jakarta (IPRIJA) sedang mempersiapkan untuk pembukaan jurusan ekonomi Syariah. Jurusan ekonomi Syariah perlu dibuka oleh Perguruan Tinggi sebagai wujud partsipasi untuk membangun perekonomian berprinsip Islam. 

Pembukaan jurusa Ekonomi Islam IPRIJA tidak dapat dilepaskan dari pesatnya pertumbuhan sektor ekonomi yang berbasis syari’ah seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah (takaful), lembaga keuangan mikro syariah, pasar modal syari’ah, perhotelan, dan bisnis lainnya yang pengelolaannya dilakukan secara syari’ah. Industri perbankan syariah yang ditargetkan mencapai market share lima persen membuat pengembangan pendidikan Ekonomi Islam harus selaras dengan kebutuhan masyarakat. Target tersebut harus didukung pula oleh Sumber Daya Manusia yang berkualitas, sehingga diperlukan banyak penambahan SDM baru.

Dari sertor perbankan syariah saja, Bank Indonesia memperkirakan kebutuhan tenaga kerja terampil perbankan Syariah sekitar 200 ribu tenaga kerja. Sementara Institusi pendidikan tinggi yang menyelenggarakan program studi ekonomi syariah baru mencapai 25-30 perguruan tinggi. Dengan jumlah tersebut, hanya sekitar 1.000 lulusan tercetak setiap tahun. Angka itu msih jauh dari kebutuhan SDM pada perbankan dan keuangan syariah.

Saat ini perkembangan ekonomi syariah begitu pesat di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan di lain benua seperti Amerika, Eropa, Afrika, Australia dan Asia mulai berbondong-bondong mengkaji ekonomi syariah dan beberapa negara ingin mendeklarasikan dirinya sebagai pusat ekonomi syariah di masing-masing regional bahkan tingkat dunia. Di Indonesia perkembangan ekonomi syariah saat ini begitu pesat, ini terlihat dari berbagai kemunculan industri keuangan syariah seperti asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah, koperasi syariah, leasing syariah, dan lain sebagainya hingga banyak bermunculan pendidikan tinggi maupun menengah yang membuka jurusan ekonomi syariah serta banyaknya organisasi dan asosiasi ekonomi syariah.

Perkembangan perbankan syariah hingga tahun 2012 ini memperlihatkan kemajuannya, total Bank Umum Syariah hingga saat ini berjumlah 11 Bank Umum Syariah(BUS), sedangkan untuk Unit Usaha Syariah(UUS) berjumlah 24 dan untuk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah(BPRS) sebanyak 156. Jumlah BUS, UUS dan BPRS untuk tahun-tahun mendatang sangat mungkin untuk terus bertambah. Pertama karena memang sejak diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah adanya tuntutan UUS yang sudah mencapai  50% harus melakukan spin off dari induknya hingga pada tahun 2023 batasnya. Belum lagi bank konvensional yang resmi berubah menjadi bank syariah tidak boleh kembali lagi ke status konvensionalnya. Berdasarkan data Bank Indonesia saat ini total aset perbankan syariah dari total keseluruhan total aset perbankan Indonesia sudah mencapai 174,09 Trilyun meningkat 37% per oktober 2012

Dikotomi ilmu yang terjadi di Indonesia menyebabkan sekularisasi dan eksklusifisasi ilmu, sehingga melahiran generasi yang berada dalam dua kutub yang berbeda, yaitu keagamaan dan umum, duniawi dan ukhrawi. Padahal sejatinya antara ilmu agama dan non agama bersatu padu dalam membentuk karakter umat manusia. 

Akibat adanya dikotomi ilmu maka sistem pendidikan yang berbasis ilmu sains kering akan nilai-nilai agama sehingga menyebabkan degradasi moral pada generasi bangsa, demikian juga pendidikan agama menjadi kering dari ilmu pengetahuan yang empirik. 

Sejatinya ilmu itu satu padu tanpa membedakan antara syariah dengan non syariah, antara naqli dengan aqli, dan antara yang teori  (nazhari) dengan empirik (tajribi) karena semua ilmu untuk menemukan kebenaran yang datangnya dari Yang Maha Benar menuju ridha Allah Yang Maha menunjukkan kepada yang benar. 
 Dikotomi ilmu masih terasa sampai saat ini sehingga perlu diretas dengan pendirian dan pembukaan bidang studi yang mengintegrasi ilmu syariah dan non syariah yang aplikatif. Dalam rangka integrasi ilmu dan ikut membangun bangsa Indonesia yang berbasis ajaran Islam maka Institut Pembinaan Rohani Islam Jakarta bermaksud membuka program studi Ekonomi Syariah. Pada kesempatan ini mohon dukungan dan doa dari kita semua.

Mudah-mudah niat baik ini dapat dijalankan dengan baik dan dapat memberi kontribusi baik kepada masyarakat dan negara. Amin


Orasi ilmiah disampaikan pada acara Wisuda Sarjana Institut Pembina Rohani Islam Jakarta (IPRIJA) Tanggal, 3 Juni 2013

No comments:

Post a Comment