Wednesday, September 12, 2012

Karakter Wayang dan Syiar Islam

Dalam pertunjukan wayang, kehadiran Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong selalu dinanti-nanti para penonton.

Keempatnya merupakan karakter khas dalam wayang Jawa (Punakawan). Dalam wayang golek terdapat peran Semar, Cepot, Dawala, serta Gareng.


Punakawan merupakan karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Kehadiran karakter lokal itu melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para kesatria, penghibur, kritik sosial, badut, bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.


Pendekatan ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh punakawan. Barangkali tak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh pewayangan, seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebenarnya berasal dari bahasa Arab.

Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya siap sedia. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa arab Ismar. Menurut orang yang berpendapat ini, lidah orang Jawa membaca kata is- menjadi se-.

Contohnya seperti Istambul dibaca Setambul. Ismar berarti paku. Tak heran, jika tokoh Semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada. Ia selalu tampil sebagai penasihat.

Lalu, ada yang berpendapat, Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata Naala Qariin. Orang Jawa melafalkannya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman.

Dalam laman wayang.blogspot.com disebutkan, hal itu sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya umat agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.

Bagaimana dengan Petruk? Ada yang berpendapat, Petruk berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan.

Selain itu, ada juga yang berpendapat kata Petruk diadaptasi dari kata Fatruk—kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, Fat-ruk kulla maa siwallaahi (tinggalkan semua apa pun yang selain Allah).

Wejangan itu, menurut tulisan dalam laman wayang.blogspot.com, menjadi watak para aulia dan mubalig pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong, artinya kantong yang berlubang.

Maknanya bahwa setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang, papar tulisan itu.

Sedangkan Bagong, diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya lalim atau kejelekan. Pendapat lainnya menyebutkan, Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yakni, berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.

Dalam pagelaran wayang, keempat tokoh Punakawan itu selalu keluar pada waktu yang tak bersamaan. Biasanya, tokoh Semar yang dimunculkan pertama kali, baru kemudian diikuti Gareng, Petruk, dan terakhir Bagong.

Secara tak langsung urutan tersebut menunjukkan ajakan (dakwah) yang diserukan para wali zaman dahulu agar meninggalkan kepercayaan animisme, dinamisme, dan kepercayaan-kepercayaan lain menuju ajaran Islam.

Jika Punakawan ini disusun secara berurutan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, secara harfiah bermakna, “Berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan meninggalkan kejelekan.”

Selain Punakawan, istilah-istilah lain dalam pewayangan juga banyak berasal dari istilah Arab. Astina yang diistilahkan sebagai nama kerajaan para penguasa yang lalim, diyakini lebih dekat dengan kata Asy-Syaithan.

Rajanya, Duryudana, lebih dekat dengan kata Durjana. Setiap orang jahat (durjana), pasti akan menemukan kekalahan dan menjadi teman setan di neraka.

Ketika seorang dalam memainkan Bala Astina dalam pentas wayang, mereka selalu ditempatkan di sebelah kiri bersama-sama dengan para raksasa. Sedangkan Pandawa Lima selalu di sebelah kanan. Hal ini menggambarkan bahwa yang baik dan yang buruk itu berbeda.

Sementara itu, tokoh pewayangan yang dikenal kuat, perkasa, dan berjiwa ksatria adalah Bima. Ia memiliki kekuatan yang disebut Dodot Bangbang Tulu Aji dan Kuku Pancanaka. Kata Tulu Aji bermakna tiga aji atau tiga kekuatan. Maksud ajian itu adalah Bima diselimuti tiga ilmu, yaitu iman, Islam, dan ihsan.

Sedangkan Kuku Pancanaka merupakan kekuatan untuk melengkapi Dodot Bangbang Tulu Aji. Kuku Pancanaka memiliki arti kekuatan Lima Waktu. Apabila kedua kekuatan itu digunakan, merupakan simbolisasi yang berarti apabila telah memiliki iman, Islam, dan ihsan, tak akan pernah meninggalkan shalat lima waktu.

Kata dalang sendiri diambil dari kata 'dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar. Demikian juga kisah-kisah wayang yang dibuat oleh Walisongo kesemuanya menampilkan cerita Islami. Di antaranya cerita Jimat Kalisada (Kalimat Syahadat), Dewa Ruci, Petruk jadi Raja, dan Wahyu Hidayat (Wahyu petunjuk).

Wayang Sebagai Media Dakwah
Ketika ajaran Islam disebarkan di Pulau Jawa, masyarakat yang sebagian besar masih memeluk agama Hindu memiliki kegemaran menonton pagelaran wayang.

Para ulama penyebar agama Allah di Pulau Jawa yang dikenal dengan Walisongo Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Syeh Siti Jenar berdakwah dengan menggunakan pendekatan budaya.

Salah satunya, menjadikan wayang yang sangat digemari masyarakat Jawa sebagai media dakwah. Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, kesenian wayang memang telah menemukan bentuknya. Pada awalnya, bentuk wayang menyerupai relief yang biasa kita jumpai pada bangunan candi.

Lalu, para wali mengubah bentuk wayang yang telah ada agar bisa digunakan sebagai alat dakwah yang sarat makna. Bagian-bagian wajah pada wayang hasil karya para wali ini digambarkan miring dan tidak menyerupai wajah manusia.

Sementara bagian leher dibuat panjang, tangan dibuat lebih panjang dari kaki, dan bagian hidung juga dibuat panjang-panjang agar tak serupa persis dengan anggota tubuh manusia.

Di antara wayang hasil karya para wali ini adalah wayang purwa dan wayang kancil. Di tangan Sunan Kalijaga, Wayang Purwa yang terbuat dari kulit kerbau itu ditransformasikan menjadi wayang kulit yang bercorak Islami. Dalam menyelenggarakan pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga selalu memilih tempat yang tidak jauh dari masjid.

Di sekeliling tempat pagelaran wayang, Sunan Kalijaga lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar mencuci kaki sebelum masuk masjid.

Sunan Giri punya media dakwah yang lain, yakni Wayang Kancil. Ia memakai tokoh peraga berupa binatang kancil sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran Islam di Jawa dan Lombok. Seni ini sempat menghilang, tapi sekarang dihidupkan kembali. Ceritanya menjadi lebih beragam, bahkan dipentaskan dalam berbagai bahasa.

Ajaran Moral Islam
Tak hanya bentuk wayang saja yang dimodifikasi. Para wali penyebar Islam di Jawa pun mengubah cerita wayang dengan menyisipkan ajaran-ajaran dan pesan moral yang sesuai dengan ajaran Islam.

Salah satu contoh ajaran moral Islam yang terkandung dalam cerita wayang dapat kita jumpai pada tokoh Bima dalam lakon Bima Suci.

Ajaran moral Islam yang terkandung dalam lakon Bima Suci dibagi ke dalam empat tahapan, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam lakon itu, Bima menjadi tokoh sentral yang meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya.

Dengan keyakinan itu, Bima kemudian mengajarkan kepada saudaranya, Janaka. Selain ajaran moral, lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertata krama.

Meski jalan cerita dalam lakon Bima Suci ini syarat dan kental dengan nilai keislaman, di sepanjang alur cerita tidak ditemui istilah-istilah Arab. Menurut para sejarawan, inilah salah satu kepandaian yang dimiliki para Walisongo dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat.

Cara dakwah yang diterapkan para wali tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan serta penolakan. Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam kian hari kian bertambah, termasuk para penguasanya.

Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun kerap menggelarnya. Karena banyak ajaran moral dan kebaikan dalam lakon-lakonnya yang bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan.

Sumber : Republika Online

2 comments: